Jumat 29 Nov 2019 11:52 WIB

Mengulik Pengaruh Eropa terhadap Kuliner Indonesia

.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Ilmu sejarah, bukan hal baru bagi Penulis //Kuliner Hindia Belanda 1901-1942//, Pipit Anggraeni. Ia telah menghabiskan waktu kuliahnya di Program Studi (Prodi) Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Malang (UM). Tak heran, perempuan berhijab ini mampu mengeluarkan buku bertemakan sejarah kuliner Hindia Belanda.

//Kuliner Hindia Belanda 1901-1942// pada dasarnya tidak membahas secara spesifik sejarah dari setiap olahan yang disajikan di Hindia Belanda atau Indonesia era 1901-1942. Akan tetapi lebih pada kebiasaan kuliner secara global. "Terutama melalui hidangan yang banyak disuguhkan saat itu (era Hindia Belanda)," kata Pipit dalam kegiatan diskusi yang diselenggarakan Heuristik di Kafe Pustaka UM.

Di buku ini, Pipit mencoba mencari keterkaitan antara budaya lokal dan Eropa. Hal ini terutama pada penyajian sederet olahan menu yang banyak disajikan di era Hindia Belanda. Salah satunya proses penyajian nasi kebuli di masa lampau.

Pada beberapa catatan sejarah, Pipit mengungkapkan, nasi kebuli atau nasi kuning lebih sering disuguhkan di hari-hari penting saat ini. Makanan tersebut hanya dapat ditemukan pada perayaan besar di masyarakat. Salah satunya pada kegiatan "selametan" di mana masih dilakukan sampai sekarang.

Penyajian ini ternyata berbeda jauh di era Hindia Belanda. Pipit justru menemukan data bahwa nasi kuning tidak hanya dapat dinikmati di hari penting. Olahan ini bisa ditemukan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik lokal maupun Eropa.

"Itu merupakan salah satu contoh di mana terlihat ada pergeseran fungsi dari makanan itu sendiri," katanya.

Secara keseluruhan, buku //Kuliner Hindia Belanda 1901-1942// terbagi atas lima bab. Di bab pertama, Pipit mengulas secara teoritis tentang budaya, manusia, akulturasi dan //local genius// dalam kuliner.  Pada bagian pembuka bab, penulis juga mencoba mengantarkan pembaca tentang jejak kuliner Indonesia pada umumnya.

Di bagian berikutnya, //Kuliner Hindia Belanda 1901-1942// mendeskripsikan bagaimana potret masyarakat Indonesia pada 1901 sampai 1942. Bahasan ini dimulai dengan kedatangan masyarakat Eropa untuk berdagang ke Indonesia. Kondisi ini pun berlanjut dengan penjajahan yang dilakukan Belanda di masa tersebut.

Struktur sosial masyarakat Hindia Belanda juga turut dipaparkan penulis dalam bukunya. Pembagian golongan masyarakat terutama dari segi ekonomi terlihat nyata di masa tersebut. Kondisi ini tidak hanya terjadi di kalangan Eropa sendiri tapi juga masyarakat Pribumi.

Hubungan langsung antara masyarakat Eropa dan pribumi telah memberikan pengaruh baru di Hindia Belanda. Terlebih ketika program politik etis resmi diterapkan di Hindia Belanda. Perbedaan yang mencolok antara Pribumi dan Eropa terutama masyarakat Belanda mulai terkikis. Hubungan keduanya pun semakin kental sehingga akulturasi budaya di antara mereka kian kuat.

Sementara di bab ketiga, penulis memaparkan bagaimana hegemoni budaya Eropa terhadap kuliner Hindia Belanda. Di tahapan awal bab ini, penulis mencoba mengantarkan pembaca tentang kemajuan transportasi di masa tersebut. Sebab, kondisi ini turut memberikan pengaruh terhadap penyebaran pangan di Nusantara.

Penulis menyontohkan tanaman teh yang dipercaya berasal dari Cina bagian barat. Tanaman ini ternyata telah dikembangbiakkan di Jawa dan Sumatera oleh bangsa Eropa. Kondisi ini terjadi lebih tepatnya pada paruh pertama abad ke-19.

Sementara di abad 20, penulis memperkirakan penyebaran dan pembudidayaan pangan di Hindia Belanda lebih beragam. Salah satu alasannya karena kedatangan perempuan Eropa di Hindia Belanda yang semakin banyak. Itu berarti, peran perempuan dalam membawa bahan makanan dari Eropa kian bervariasi.

Sebelum merujuk pada kuliner, penulis mengungkapkan, bagaimana perubahan teknologi memasak di Hindia Belanda. Banyak dibangun kriteria baru dalam memenuhi kebutuhan teknologi di dapur. Beberapa di antaranya keharusan memiliki kompor, panci, wajan, ketel, piring, garpu, sendok dan sebagainya.

Di bab serupa, penulis juga menjelaskan, bagaimana ibu rumah tangga di Hindia Belanda berhubungan dengan Pribumi. Salah satunya dengan memilih para perempuan Pribumi untuk dijadikan juru masak di rumah masing-masing. Pada tahap ini, kuliner antara Eropa dan Indonesia saling memberikan pengaruh kuat satu sama lain.

Adapun perihal pengaruh budaya Eropa terhadap kuliner Hindia Belanda baru muncul di bab keempat. Di bagian ini, penulis menjelaskan, cara penyajian menu di masa kerajaan di Indonesia. Hal ini terutama pada kebiasaan santap yang dilakukan masyarakat Nusantara di abad ke-15 hingga 17.

Cara penyajian makan di era kerajaan terlihat penuh dengan kesederhanaan. Sebagian masyarakat biasanya makan di lantai dengan menggunakan daun pisang atau piring kayu. Kemudian tak lupa mencuci tangan sebelum mengepal nasi untuk dikonsumsi.

Berikutnya, tertulis juga pembahasan sajian menu di masa Hindia Belanda. Di era ini, dekorasi peralatan makanan sangat diperhatikan unsur keindahannya. Dalam hal ini penempatan piring, mangkuk, gelas, garpu, sendok dan sebagainya begitu penting.

Buku //Kuliner Hindia Belanda 1901-1942// pada dasarnya mampu memberikan khazanah baru tentang sejarah kuliner bagi masyarakat. Namun deskripsi menu kuliner yang ingin diketahui pembaca melalui judul buku hanya ditemukan dalam satu bab. Bahkan, penjelasan mengenai hal tersebut tidak dipaparkan secara detail.

Mengingat buku ini berasal dari penelitian skripsi penulis, maka pembaca akan terlebih dahulu disuguhi teori-teori umum di halaman pertama. Tak jarang, pembaca merasa bosan hingga akhirnya lebih suka menuju bab bacaan yang diinginkan. Hal ini terutama di bagian pengaruh Eropa pada kuliner Hindia Belanda.

Dari sisi gaya penulisan, Pipit mampu menyajikan bahasa yang mudah dipahami. Penulis juga menyediakan catatan kaki pada kata-kata yang kemungkinan tidak dipahami pembaca. Salah satunya terlihat di halaman 41 di mana penulis memberikan catatan tambahan ihwal //Pawon//.

Sementara dari aspek penampilan, buku //Kuliner Hindia Belanda 1901-1942// sepertinya belum mampu memberikan daya tarik. Sebab, tampilan buku ini sekilas terlihat seperti kumpulan resep makanan. Ditambah lagi, gambar-gambar keterangan tambahan yang disajikan di dalam buku hanya berwana hitam dan putih.

 

Judul Buku: Kuliner Hindia Belanda 1901-1942: Menu-menu                   Populer dari Budaya Eropa

Penulis  : Pipit Anggraeni

Penerbit : Beranda Kelompok Intrans Publishing

Tebal      : 113 Halaman

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement