Jumat 12 Apr 2019 19:26 WIB

Kasus AY, Pakar: Guru Harus Antisipasi Perundungan

Kejadian AY disebut sebagian kecil dari perundungan yang terungkap di sekolah.

Bullying (ilustrasi)
Foto: www.chicago-bureau.org
Bullying (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Guru Besar Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Makassar (UNM) Prof Dr Arismunandar berpendapat semua guru harus mempunyai wawasan terkait bullying atau perundungan. Ia mengungkapkan hal tersebut sebagai respons terhadap kasus yang melibatkan siswi di Pontianak, Kalimantan Barat.

"Semua guru harus diberi wawasan bullying supaya ketika hal-hal ini terjadi utamanya pada sektor pendidikan bisa segera diantisipasi agar tidak berlarut-larut," ungkap mantan Rektor UNM ini di Makassar, Jumat.

Menurut Arismunandar, kasus di Pontianak memperlihatkan program Sekolah Ramah Anak (SRA) yang telah digaungkan pemerintah belum terealisasi dengan baik. Ia menilai kejadian tersebut dianggap baru sebagian kecil dari perundungan yang terungkap di sekolah.

"Yang terungkap ini masih sangat sedikit. Perundungan itu banyak sekali terjadi di tatanan sekolah, mulai tingkat sekolah dasar, SMP dan SMA. Orientasi pendidikan SRA harus disinergikan dengan kurikulum. Perlu diberi penguatan terkait pola pengajaran untuk mencegah dan mengantisipasi perundungan," jelasnya.

Selain itu, Arismunandar juga meminta agar bagian Bimbingan Konseling (BK) di sekolah menginventarisasi kejadian-kejadian bullying. Guru BK harus mencari dan mengetahui permasalahannya, memetakan, dan segera menyelesaikan.

Bagi dia, hukuman tetap menjadi hal yang penting bagi pelaku perundungan, namun tetap dilakukan sesuai kadarnya.

"Hukuman tetap penting sesuai kadarnya, semisal di skorsing atau mungkin dipindahkan ke sekolah lain. Tidak juga lantas dianggap sebagai pidana karena malah bisa terjadi bullying jilid dua," paparnya.

Mantan rektor UNM dua periode ini menanggapi, kasus perundungan terjadi karena begitu dekatnya media sosial (medsos) dengan tenaga didik serta pergaulan sosial yang begitu luas tanpa batasan. Alhasil, para kaum milenial ini mudah bereaksi terhadap hal-hal yang terjadi di medsos tanpa melakukan klarifikasi.

"Jadi memang perlu tabayun (klarifikasi), karena kalau tidak, hal ini bisa berbahaya sebab kondisi medsos sekarang bisa menyulut emosi siapa saja. Medsos itu sebenarnya adalah provokator yang tidak nyata," katanya.

Terlebih, menurut anggota Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah ini, tampak ego kelompok yang terjadi pada kasus di Pontianak. Ia melihat segelintir dari pelaku merasa punya otoritas melebihi yang lain.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement