Rabu 22 Mar 2017 08:14 WIB

5 Penyebab Utama Gangguan Pendengaran

Rep: Desy Susilawati/ Red: Indira Rezkisari
Gangguan pendengaran.
Foto: Flickr
Gangguan pendengaran.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernahkah Anda merasa kesal ketika sedang berbicara dengan orangtua, saudara atau teman Anda tapi tidak nyambung. Anda berkata A, dia dengarnya B. Sabar, ya, mungkin saja lawan bicara Anda mengalami gangguan pendengaran sehingga terjadi miskomunikasi. Sebenarnya apa yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan pendengaran?

Ketua perhimpunan ahli THT Bedah Kepala Leher (PERHATI-KL), dr Soekirman Soekin, Sp THT-KL, Mkes menjelaskan ada lima penyebab utama gangguan pendengaran. Yaitu radang telinga tengah menahun atau otitis media supuratif kronis (OMSK) atau lebih dikenal dengan congek sekitar 3 persen. Infeksi ini disertai dengan pengeluaran cairan (dapat bening atau keruh) dari liang telinga sehingga disebut supuratif. Istilah kronik digunakan apabila penyakit ini hilang timbul atau menetap selama dua bulan atau lebih.

“Hampir 90 persen kasus ini harus dioperasi karena gendang telinga bolong dan tulang pendengaran rusak,” jelasnya dalam Media Briefing Indonesia Mendengar Masa Depan Gemilang, di Jakarta.

Infeksi telinga ini asal muasalnya karena adanya batuk pilek. Gangguan ini terutama rentan terjadi pada anak. Telinga berhubungan dengan hidung. Saluran yang menghubungkan keduanya pada orang dewasa bentuknya miring dan tinggi, sedangkan pada anak-anak rata atau lurus. Sehingga anak rentan terkena infeksi telinga. “Jangan sepelekan pilek,” ujarnya.

Selain itu, penyebab utama ketulian adalah tuli sejak lahir atau kongenital, kejadiannya sekitar 0,1 sampai 0,2 persen bayi lahir atau satu dari 5200 bayi lahir. Penyebab utama lainnya adalah tuli akibat bising, sebanyak 20 sampai 30 persen adalah pekerja pabrik. Ada lagi tuli karena usia tua atau disebut presbikusis, kejadian sekitar 2,6 persen. Dimana 25 smapai 30 persennya pada usia 65 sampai 74 tahun, 40 sampai 50 persennya usia 75 tahun lebih. Gangguan pendengaran lain diakibatkan oleh serumen atau kotoran telinga sekitar 20 sampai 50 persen pada anak SD.

Soekirman mengungkapkan kondisi ketulian di Indonesia menurut survei nasional tahun 1994 sampai 1996, angka morbiditas penyakit telinga 18,5 persen (40,5 juta), prevalensi gangguan pendnegaran 16,8 persen (35,28 juta), ketulian 0,4 persen atau sekitar 840 ribu. Dan setiap tahun lebih dari 5.200 bayi lahir menderita tuli, dengan angka kelahiran 2,6 persen.

Ia menjelaskan jenis ketulian ada berbagai macam, ada tuli konduksi atau hantar, tuli sensori-neural atau syaraf, tuli campur. Untuk derajatnya ada yang ringan, 26 sampai 40 desibel, sedang 41 sampai 60 desibel, berat 61 sampai 80 desibel, dan sangat berat 81 desibel lebih.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement