Rabu 25 Mar 2015 11:43 WIB

TB MDR Perlu Diwaspadai

Rep: mj01/ Red: Agus Yulianto
Contoh sampel sputun yang dikumpulkan dari pasien penderita tuberculosis (TB).
Foto: Reuters//Beawiharta
Contoh sampel sputun yang dikumpulkan dari pasien penderita tuberculosis (TB).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG – Hampir 2 miliar manusia di seluruh dunia termasuk dalam golongan tuberculosis (TB) laten. Gologan ini adalah seseorang yang pernah terkena kuman TB, tapi tidak sampai mengidap penyakitnya.

Hal tersebut terjadi karena daya tahan tubuh seseorang masih kuat, sehingga kuman TB tidak bisa menyerang sistem imun. Namun, bukan berarti hal tersebut dianggap sebelah mata. Menjadi TB laten juga perlu dilakukan pencegahan karena dikhawatirkan bisa terkena TB multi drug resistant (MDR).

“TB MDR sendiri sebenarnya lebih mudah terkena pada penderita TB biasa yang tidak disiplin dalam mengonsumsi obat. Namun, tidak menutup kemungkinan TB MDR bisa menular pada orang TB laten,” papar Kepala Litbangkes Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Tjandra Yoga Aditama, kemarin. Di Indonesia sendiri, tercatat 6.800 orang mengidap TB MDR.

Saat ditemui seusai mengisi acara Hari TBC Sedunia di RS Paru Rotinsulu Bandung, Tjandra mengatakan, mendiagnosis TB MDR lebih sulit dibandingkan TB biasa. Hal ini, kata dia, karena TB MDR ini saat dikasih obat lini pertama selama enam hingga delapan, maka pasien itu tidak sembuh.

“Di sana kita baru bisa mendiagnosis ternyata dia terkena TB MDR,” ujarnya. Cara mendiagnosisnya pun tidak bisa hanya dengan tanda klinis seperti batuk yang lebih dari dua hingga tiga minggu, nafsu makan kurang, dan berat badan menurun. Namun sekarang, kata dia, sudah ada alat pendeteksi TB MDR, yakni GeneXpert.

Tjandra menuturkan, TB MDR ini selain sulit didiagnosis, pengobatannya pun relative, bisa 18 hingga 24 bulan. Bahkan, bila pasien minum obatnya tidak benar, maka hal itu bisa lebih bahaya lagi.

Sebenarnya, menurut Tjandra, puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia sudah bisa menangani permasalahan TB. Apalagi, ada program nasionalnya.

Kata dia, pemeriksaan dan pemberian obat pun dilakukan cuma-cuma. “Hanya orang kan sering malas ya untuk minum obat, apalagi TB kan lama bisa sampai berbulan-bulan,” ujarnya.

Oleh karena itu, Tjandra menuturkan, agar para petugas kesehatan perlu melakukan beberapa hal untuk mengatasi masalah TB terutama TB MDR. Sebab,  masih banyak petugas kesehatan yang hanya mendiagnosis asal-asalan melalui hasil rontgen. "Hasil rongent itu hanya penunjang. Petugas kesehatan harusnya menilai dari tanda klinis dulu," ujarnya.

Selain itu, rumah sakit juga harus bergerak memperhatikan masyarakat, bukan hanya orang yang berobat di RS nya. Kata Tjandra, petugas bisa membagikan ilmunya kepada masyarakat dan petugas lain supaya makin banyak orang yang tahu tentang TB.

Kepala Bidang Pengendalian Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2-PPL) Dinas Kesehatan Kota Bandung (Dinkes) Susatyo menuturkan, perlu adanya perhatian khusus dari tim medis kepada para pasien TB. “73 puskesmas di Kota Bandung sudah melaksanakan pemantauan kepada para pasien TB. Mangkir sehari saja, kami langsung datangi ke rumahnya,” ujar dokter yang akrab disapa Tyo itu.

Selain untuk memeriksa keadaan pasien, pemberian obat pun dikontrol langsung oleh tim puskesmas. Pasalnya, bila diberikan semua obatnya ke pasien, maka hal itu pun bisa berbahaya.

“Nanti kalau enggak terkontrol, bagaimana? Makanya kami melakukan pengontrolan selama dua minggu sekali," tuturnya. Tyo memaparkan, di Kota Bandung, tercatat tiga orang yang diketahui terkena TB MDR pada 2014.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement