Kamis 27 Jul 2017 15:40 WIB

Sistem Kekebalan Sapi Bisa Jadi Petunjuk Vaksin HIV

Rep: Novita Intan/ Red: Agus Yulianto
Kawasan Wisata Sapi Perah di Beji, Kota Batu, Jawa Timu (Ilustrasi)
Foto: Republika/Wilda Fizriyani
Kawasan Wisata Sapi Perah di Beji, Kota Batu, Jawa Timu (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ini bukan pertama kalinya hewan ini menjadi kunci untuk menyembuhkan penyakit besar. Pada abad ke-20, diperkirakan 300 juta orang meninggal karena cacar.

Penyakit ini menyerang umat manusia selama 12 milenium dan akhirnya diberantas pada 1980. Sebagian, untuk sapi, atau lebih tepatnya, penyakit yang menindas sapi.

Seperti dilansir dari laman, Reader's Digest, pada 1796, Edward Jenner mengajukan sebuah teori, sebuah solusi yang diusulkan untuk Smallpox, sebuah epidemi yang pada saat itu membunuh sekitar 300 ribu orang Eropa per tahun.

Teorinya didasarkan pada pengamatan bahwa milkmaids yang tertular cacar sapi tidak akan pernah melanjutkan kontrak dengan Smallpox. Mengapa tidak menginfeksi orang dengan Cowpox, penyakit yang bisa diobati, untuk mencegah mereka terkena penyakit cacar, yang pada dasarnya adalah hukuman mati?

Tiba-tiba Jenner mendapat vaksin pertama di tangannya. Dan sekarang, dua abad kemudian, sapi dapat berfungsi sebagai kunci untuk memecahkan salah satu penyakit mematikan sepanjang sejarah HIV.

Sebuah studi yang dipublikasikan di Nature menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh sapi mampu beradaptasi dan memerangi HIV pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya - tingkat yang pada dasarnya membuat penyakit ini tidak bergigi.

Sapi mampu menetralkan 20 persen strain virus setelah 42 hari, dan 96 persen setelah 381 hari. Dr Devin Sok, salah satu peneliti yang terlibat dalam penelitian tersebut mengatakan kepada BBC bahwa respons sapi tersebut meniup pikiran kita, terutama bila dimasukkan ke dalam perspektif terhadap respons HIV yang khas.

"Hanya saja  seberapa bagus tampilannya, pada manusia yang dibutuhkannya. Tiga sampai lima tahun untuk mengembangkan antibodi yang sedang kita bicarakan," katanya. Penelitian tersebut belum menghasilkan vaksin atau pengobatan, namun hasilnya tentu saja menggembirakan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement