Senin 24 Jul 2017 16:21 WIB

Minum Air Soda tak Seburuk yang Dibayangkan

Rep: Christiyaningsih/ Red: Esthi Maharani
Minuman soda, salah satu minuman dengan kalori dan kadar gula tertinggi.
Foto: AP
Minuman soda, salah satu minuman dengan kalori dan kadar gula tertinggi.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Minuman berkarbonasi atau air soda ternyata mengandung sejumlah manfaat bagi kesehatan. Selama ini sebagian masyarakat menganggap minuman ini tidak sehat, mengikis kandungan kalsium pada tulang, dan menggerus lapisan email pada gigi.

Dikutip dari laman Time, konsumsi air soda rupanya tak seburuk yang dibayangkan orang. Para ahli berpendapat air soda murni tanpa kalori dan gula tambahan baik diminum bagi kesehatan. Laureen Smith selaku profesor di Ohio State University College of Nursing menuturkan pola konsumsi air soda harus diubah.

"Minum air soda tanpa pemanis buatan adalah salah satu gaya hidup sehat meski awalnya pasti kita belum terbiasa," katanya.

Minum soda juga tak akan melemahkan tulang kita. Dalam sebuah studi, seorang profesor di bidang kesehatan dari Harvard Medical School bernama Douglas Kiel menemukan fakta baru. Kiel menyatakan bahwa minuman cola dengan pemanis buatan berpengaruh buruk terhadap kepadatan tulang wanita. Namun sebaliknya, konsumsi air soda murni ternyata tidak berkontribusi buruk pada pengeroposan tulang.

Penelitian serupa dilakukan oleh Robert Heaney yang merupakan profesor di Creighton School of Medicine di Nebraska. Hasilnya sama, konsumsi air berkarbonasi tidak mengurangi kepadatan tulang. Kedua profesor itu sama-sama menjamin bahwa air berkarbonasi aman diminum.

"Air soda tidak buruk, namun jika itu digantikan dengan minuman sehat yang lain seperti susu, maka soda tidak bagus," jelas Heaney.

Ketakutan akan rusaknya gigi akibat minum air soda juga ikut dipatahkan. Penelitian membuktikan level erosi gigi akibat minum soda sangat rendah. Berita baiknya, air soda murni bermanfaat sebagaimana air putih biasa.

"Minum air soda murni seperti minum air putih biasa dan tidak berefek negatif," ungkap Sara Bleich selaku profesor dalam bidang kebijakan dan manajemen kesehatan di John Hopkins School of Public Health.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement