Rabu 17 May 2017 14:38 WIB

Indonesia Butuh Peningkatan Layanan Kardiologi Intervensi

Rep: Rizma Riyandi/ Red: Indira Rezkisari
Penyakit jantung/ilustrasi
Foto: Wikipedia
Penyakit jantung/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Gangguan kardiovaskular masih menjadi penyakit mematikan di dunia. Data WHO menunjukkan pada 2005 terdapat 17,5 juta orang di berbagai belahan dunia meninggal setiap tahunnya akibat penyakit kardiovaskular. Bahkan kematian akibat penyakit ini memberikan kontribusi hingga sepertiga kematian global.

“Sementara di Indonesia prevalensi penyakit jantung koroner pada tahun 2013 mencapai 2,6 juta  orang atau 1,5 persen dari total kematian,” kata Budi Yuli Setianto, pada pengukuhan Guru Besar di Balai Senat UGM, Rabu (17/5).

Ia menyampaikan siapapun memiliki risiko terhadap penyakit kardiovaskular, termasuk anak-anak. Selain itu, 80 persen beban penyakit ini adalah negara berpenghasilan rendah dan menengah. Pada 2020 diproyeksikan penderita penyakit kardiovaskular akan meningkat melebihi angka 23,4 juta jiwa.

Bahkan penyakit jantung dan stroke akan menjadi penyebab utama kedua kematian dan kecacatan di dunia. Budi menyebutkan Cina menjadi negara dengan angka kematian tertinggi akibat penyakit kardiovaskular. Sementara angka kematian akibat penyakit jantung koroner di Indonesia berkisar antara 100 sampai 500 ribu setiap tahun.

Maka itu menurutnya, layanan kardiologi intervensi saat ini harus ditingkatkan. Namun di era pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih menghadapi berbagai tantangan. Antara lain rendahnya kesadaran pasien dan dokter pada kardiologi intervensi, tidak adanya registri dan jaringan IMA-EST nasional serta registri cath-lab dan jaringan IKP nasional, keterbatasan fasilitas, dan ketersediaan obat serta alat diagnostik.

“Selain itu ada distribusi yang tidak merata dari dokter terlatih spesialis penyakit jantung,” papar pria yang merupakan pakar kardiologi Fakultas Kedokteran UGM itu menjelaskan. Ia menyampaikan, hingga 2015 jumlah cath-lab di Indoensia baru 199 buah dan tersebar di 171 rumah sakit. Sedangkan jumlah dokter spesialis penyakit jantung sampai 2016 hanya 850 orang.

Tantangan lain seperti ketidakpercayaan diri dokter umum dalam mengelola pasien sindrom koroner akut pun masih banyak terjadi. Ditambah dengan tidak adanya sistem rujukan pasien terpadu dan layanan terpadu EMS. Jaminan pendanaan kesehatan nasional pun lebih rendah dari biaya sebenarnya.

Untuk mengurai persoalan tersebut, Budi Yuli mengatakan perlu adanya upaya untuk meningkatkan target cakupan BPJS Kesehatan bagi semua warga pada 2020. Termasuk dibarengi oleh peningkatan jumlah rumah sakit pusat pelatihan kardiologi intervensi dan peningkatan rumah sakit dengan fasilitas cath-lab hingga 220 sampai 250 rumah sakit, serta meningkatkan target kardiologi intervensi baru sekitar 30 sampai 35 orang per tahun.

“Saat ini dengan sembilan rumah sakit pusat latihan hanya bisa menghasilkan 12 sampai 15 orang kardiologi intervensi,” ujar Budi. Adapun langkah lainnya dapat dilakukan dengan mengembangkan jaringan IMA-EST dengan registri SKA. Tidak ketinggalan perlunya upaya mengembangkan registri IKP nasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement