Selasa 18 Sep 2012 19:20 WIB

Rokok tak Bisa Membuat Rileks

Merokok dapat mengakibatkan kebotakan. (ilustrasi)
Foto: Antara/Fahrul Jayadiputra
Merokok dapat mengakibatkan kebotakan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,SEMARANG--Pakar psikologi Radboud University-Nijmegen Belanda Prof AML Coenen menyatakan tidak benar jika merokok dikatakan bisa membuat kondisi menjadi rileks dan bisa mengatasi stres.

Usai seminar "Brain and Health Risk Behaviour" di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Selasa, ia mengakui banyak orang yang mengatakan dengan merokok membuat mereka lebih rileks dan tidak stres.

Padahal, kata dia, nikotin yang terkandung dalam rokok adalah semacam zat perangsang dan tidak bisa merelaksasi kondisi seseorang, dan dengan hanya mencoba beberapa gelintir rokok bisa menjadikan ketergantungan.

Menurut dia, banyak orang tidak menyadari sebenarnya kandungan tar yang juga terdapat dalam rokok justru lebih berbahaya dibandingkan dengan nikotin, karena bisa menyebabkan perokok terkena penyakit kanker.

Ada beberapa penyakit kanker yang berpeluang diderita kalangan perokok, kata dia, tetapi yang paling banyak diderita memang kanker paru-paru.

Namun, ia mengakui bahwa perilaku merokok saat ini justru sangat populer di kalangan anak muda, seolah tak menyadari bahwa kebiasaannya tersebut bisa berisiko sangat berbahaya pada tubuh mereka.

Selain merokok, ia juga menyoroti perilaku berisiko remaja yang membahayakan tubuh, yakni meminum minuman beralkohol yang bisa memengaruhi kemampuan otak dan komponen kesehatan yang lain pada manusia.

Kebiasaan mengonsumsi obat-obatan terlarang juga kian marak di kalangan anak muda, kata Coenen, setidaknya mulai meluas selama 25 tahun terakhir yang tanpa disadari sesungguhnya mengurangi masa remaja mereka.

Sementara itu, Dekan Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang Dr Kristina Haryanti mengatakan pihaknya mengundang Prof AML Coenen dari Belanda untuk bertukar pikiran seputar bidang psikologi.

"Sebenarnya, lingkungan yang memberikan pengaruh besar terhadap perilaku seseorang, termasuk perilaku kesehatan. Keluarga adalah lingkungan terdasar yang pengaruhnya paling besar," katanya.

Keluarga, kata jebolan Radboud University-Nijmegen Belanda itu, menjadi basis penanaman nilai-nilai kesehatan pada setiap individu yang menentukan apakah seseorang memiliki perilaku hidup sehat atau tidak.

"Kalau keluarga sudah menerapkan dan membiasakan pola perilaku hidup sehat maka setiap anggota keluarga akan terbiasa melakukannya. Mereka juga akan memiliki perilaku hidup yang sehat," kata Kristina.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement